Berdasarkan Hasil penelitian dalam rangka P4GN Tahun 2021, Prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia terjadi peningkatan dari 1.8 di tahun 2019 menjadi 1.95 pada tahun 2021 (Puslitdatin BNN. Indonesia Drug Report 2022). Laporan UNODC (2022) dilaporkan terdapat 292 juta orang di dunia menyalahgunakan narkoba. Di Indonesia, hasil survey 2023 menunjukkan bahwa prevalensi penyalahgnaan narkoba mencapai 1.73 persen dari total penduduk usia 15-64 tahun atau sekitar 3.3 juta jiwa. (Badan Riset dan Inovasi Nasional. 2025).
Narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif atau sering juga disebut NAPZA (Narkotika, psikotropika dan Zat Adiktif). Di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan pengertiannya, penggolongannya, ketentuan peredaran serta aspek lainnya terkait narkotika. Di dalam Pasal 7 disebutkan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Karena itu penggunaan narkotika di luar kepentingan tersebut dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan. Penggunaan narkotika terus-menerus dapat menimbulkan ketergantungan atau adiksi yaitu kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/ atau dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
Adapun upaya untuk membantu sifat ketergantungan atau adiksi pada penyalahguna narkotika salah satunya dengan rehabilitasi berkelanjutan. Rehabilitasi Berkelanjutan yang selanjutnya disebut Rehabilitasi adalah serangkaian upaya pemulihan terpadu terhadap Pecandu Narkotika, Penyalahguna Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang mencakup penerimaan awal, rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial, serta pascarehabilitasi. Rehabilitasi ini merupakan bagian dari program kerja P4GN (Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika) Badan Narkotika Nasional.
Dalam pelaksanaan rehabilitasi klien menjalani konseling dan diberikan edukasi informasi mengenai adiksi yang bersifat kronis dan kambuhan, adiksi tidak dapat disembuhkan namun disebut pulih. Dampak penyalahgunaan zat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, baik medis, psikologis, relasi sosial, finansial, karir/pendidikan, hingga spiritual. Hal ini dapat mempengaruhi keyakinan klien akan kemampuannya untuk mencapai dan mempertahankan pemulihan. Salah satu faktor yang mempengaruhi keyakinan klien penyalahguna adalah optimisme dalam menjalani pemulihan. Menurut Seligman (2006) Optimisme adalah cara pandang bagaimana seseorang bisa berpikir positif ketika menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi di hidupnya. Dalam hal ini, permasalahan yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika. Optimisme penting karena berperan meningkatkan harapan positif untuk memperoleh dan mempertahankan kepulihan.
Terdapat tiga dimensi dalam optimisme yang mempengaruhi cara pandang individu yaitu permanence, pervasiveness dan personalization. Permanence menggambarkan bagaimana individu melihat peristiwa yang bersifat sementara (temporary) atau menetap (permanent). Pervasiveness berkaitan dengan ruang lingkup dari peristiwa tersebut, yang meliputi universal (menyeluruh) dan spesifik (khusus). Personalization merupakan sikap yang berkaitan dengan sumber dari penyebab kejadian tersebut, meliputi internal dan eksternal.
Pada klien penyalahguna yang merasa tidak dapat pulih dapat dilakukan ‘reframing’ kembali bahwa kejadian slip, lapse atau relapse (kembali menggunakan zat) merupakan hal yang temporary. Dari dimensi permanence, individu dapat melihat proses pemulihan yang dilakukan hari demi hari merupakan hal yang bersifat relatif menetap yang perlu dilakukan untuk menjaga pemulihan yang menjadi tujuan bersifat permanen sedangkan kejadian bahwa ia kembali menggunakan zat merupakan hal yang bersifat sementara saja dari proses pemulihannya. Dari dimensi Pervasiveness, bahwa peristiwa penggunaan zatnya bersifat spesifik, tidak mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, sebaliknya klien tetap dapat bekerja, dapat beraktivitas sehari-hari, berperan sebagai anggota keluarga, serta masih menjadi bagian dari masyarakat. Pada dimensi Personalization, klien yang optimis dapat melihat bahwa penyebab penyalahgunaan zat dikarenakan faktor-faktor eksternal yang perlu ia sadari dan waspadai di kemudian hari agar dapat mempertahankan pemulihannya.
Learned Optimism sebagai salah satu intervensi dapat diterapkan pada saat konseling dengan klien yang merasa gagal, belum berhasil dalam menjalani pemulihan dari penyalahgunaan zat. Hal ini dilakukan dengan harapan klien dapat memperoleh sudut pandang baru dalam menjalani proses pemulihan dari penyalahgunaan zat.
Reference
Badan Narkotika Nasional. Pedoman Layanan Pascarehabilitasi. 2022. Jakarta: BNN RI.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Seligman Ph.D, Martin E.P. (2006). Learned Optimism – How to Change Your Mind and Your Life. New York: Vintage Books.
Oleh : Irma Yuni
Penulis merupakan Pegawai Negeri Sipil di Badan Narkotika Nasional Provinsi Kepuluan Riau