Sejalan perkembangan teknologi informasi,kehadiran media baru yakni internet menjadi media yang paling fenomenal dan telah menggeser peran dari media-media yang terlebih dahulu ada (Setianto, 2020).
Media baru ini telah mengubah cara orang dalam menyampaikan pendapatnya. Sejalan dengan yang dinyatakan Pavlik dan Dennis dalam (Nurlatifah & Prajarto, 2019) bahwa persinggungan dan perubahan transaksi informasi merupakan pengenal khusus untuk membedakan antara media baru dan tipikal media massa sebe-lumnya. teknologi komunikasi ini memberi jalan bagi masyarakat secara leluasa mengekspresikan pendapatnya sekaligus kemudahan untuk memilih beragam media.
Media sosial membawa dampak yang luar biasa pada kultur komunikasi. Adanya kesempatan menyamarkan wujud dan identitas, membuka ruang sebagian orang untuk mengolok-olok seseorang lainnya.
Tantangan Kini
Internet terutama media sosial merupakan salah satu media yang efektif dalam upaya mobilisasi masyarakat. Internet dinilai sebagai alat yang efektif dan inovatif yang memungkinkan sebuah kelompok sosial menggerakkan para pendukungnya (Cabalin, 2020).
Selain itu media sosial menyebabkan karakter baru muncul yaitu audience generated dimana media baru memungkinkan siapapun dapat mendistribusikan konten yang mereka himpun sendiri (Straubhaar & Rose, 2019).
Praktik produsage ini berarti memproduksi sekaligus mengonsumsi konten. Hal negatif yang terekam adalah kecendrungan berpendapat di media sosial mulai diwarnai dengan konten negatif seperti unsur penghinaan.
Hal ini tentu bukan tanpa sebab, menarik didiskusikan di sini ketika fenomena cultural lag muncul. Dalam konteks ini terlihat keberadaan media sosial ini justru berbanding terbalik dengan kemampuan literasi sehingga media baru sebagai ruang publik cendrung berubah menjadi wadah yang sarat dengan konten negatif khususnya penghinaan terhadap orang lain dan semakin mengarah pada praktik vandalisme digital.
Vandalisme digital berpengaruh pada psikologis orang yang dilabeli oleh masyarakat tersebut. Hal tersebut dapat menjadi trauma panjang bagi korban pelabelan. Bahkan dapat menyebabkan anxiety attack yang sulit disembuhkan sendiri. Hal itu tidak dipikirkan oleh masyarakat.
Jika julukan-julukan kepada orang yang bersangkutan itu dianggap biasa secara social education maka jika terus-menerus viral dan netizen terus melakukan itu, itu tidak baik, Di media sosial kita sering melihat bagaimana orang-orang menjadi latah dalam melakukan kesalahan dan diberikan ruang kembali untuk meminta maaf dan ini menjadi semacam “habit” baru bahwa setiap kita melakukan tindakan menyimpang semua hal dapat selesai hanya dengan video klarifikasi permintaan maaf.
Hal ini kemudian dijelaskan oleh Goffman bahwa ketika orang orang berinteraksi, mereka ingin memberikan gambaran diri yang diterima orang lain. Biasanya hal ini disebut dengan impression management sebagai teknik untuk memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu dan mencapai tujuan tertentu.
Kemudian untuk mencapai hal tersebut seseorang akan merepresentasikan dirinya dengan atribut atau cara tertentu. Permasalahan yang banyak kini muncul seringkali karena seseorang ingin mendapatkan perhatian tertentu sehingga dirasa hal yang wajar
menyebarkan konten negatif sekalipun karena yang ingin dicapai adalah perhatian
Sadar atau tidak, manusia menjadi tergantung kepada teknologi. Pengaruh teknologi dalam kehidupan manusia. McLuhan melalui teori ekologi medianya menjelaskan bahwa manusia memiliki hubungan simbolik dengan teknologi dan teknologi pada gilirannya menciptakan kembali siapa diri kita.
Apa yang perlu kita lakukan?
Kebebasan berpendapat pada dasarnya mengacu pada hak seseorang untuk berbicara maupun menulis secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan dari pihak lain akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan konten negatif bermuatan penghinaan dan mengarah pada vandalisme.
Dalam komunikasi lewat digital seperti penggunaan internet ada istilah yang disebut dengan netiquette yang merupakan panduan untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kaidah normatif di lingkungan Internet. Ada etika dalam berkomunikasi salah satunya berhati-hati dalam menyampaikan pendapat dan bahkan berisikan muatan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kehadiran UU ITE bagaimanapun tetap menjadi polemik, karena jika dulu undang-undang ini dianggap sebagai upaya pembungkaman pendapat, kini justru menjadi senjata dalam mengantisipasi semua konten negatif yang merugikan secara
individu dan berpotensi mengahancurkan negara.
Terkait dengan perkembangan politik ini dimanfaatkan untuk menjatuhkan pihak lawan
bahkan menjadi pisau dalam persaingan termasuk menyerang para netizen yang dianggap terlalu kritis menyoroti permasalahan sosial yang terkait
kepentingan bersama.
Tidak berlebihan rasanya jika memandang kondisi yang terjadi kini juga merupakan implikasi dari kurangnya pengawasan dari pemerintah dalam mengatur ruang publik. UU ITE saja tidak cukup sehingga diperlukan orang orang yang memiliki kompetensi sesuai bidangnya dalam menyusun dan mengembangkan kebijakan yang lebih efektif untuk mengontrol kebebasan berpendapat melalui media baru khususnya berbasis media sosial.
Saat ini telah erjadi gemuruh di social media, hal ini perlu diantisipasi melalui pendekatan literasi media. Baran dan Dennis dalam (Tamburaka, 2019) menjelaskan bahwa literasi media atau biasa disebut media literacy sebagai rangkaian gerakan melek media yang dirancang untuk meningkatkan kontrol individu terhadap media yang digunakan.
Melek media pun dilihat sebagai keterampilan yang dikembangkan setiap waktu terhadap semua media. Kondisi di atas jelas akhirnya memberikan penekanan akhir bahwa dengan adanya karakteristik media era digital seperti interaktivitas, aktualisasi sosial, kaya informasi khususnya muatan informasi positif dapat menjadikan pengguna lebih berhati-hati menggunakan media digital. (**)
oleh : Ratih Frayunita Sari, S.Ikom., M.A (*)
Penulis adalah salah satu dosen di Perguruan Tinggi di Batam